Anakku, surat ini datang dari
Ibumu yang selalu dirundung sengsara, saya coba menulis diatas keraguan dan
rasa malu. Setelah berfikir panjang, saya coba goreskan pena berulang kali akan
tetapi selalu terhalang oleh tangisan dan setiap kali ia meneteskan air mata
maka setiap kali hatiku terluka
Anakku, setelah umur yang panjang
ini saya lihat engkau telah menjadi laki-laki yang dewasa lagi cerdas dan bijak
maka engkau pantas membaca tulisan Ibu ini walaupun nantinya engkau sobek
tulisan Ibu ini sebagaimana engkau telah menyobek-nyobek hati Ibu.
Setelah kabar gembira tersebut
maka aku membawamu selama sembilan bulan, tidur dalam kesulitan, berdiri dalam
kesulitan, makan dalam kesulitan, bernapas dalam kesulitan akan tetapi itu
semua tidak mengurangi kasih sayangku kepadamu bahkan kasih saying tersebut
semakin tumbuh bersama dengan berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku
dalam kondisi lemah diatas lemah akan tetapi aku gembira setiap aku merasakan
gerakanmu dalam perutku, aku bahagia setiap kali menimbang tubuhku bertambah
dengan bertambahnya berat badanku padahal mengandung itu sangat berat anakku.
Penderitaan yang berkepanjangan
itu telah sampai ketika fajar malam itu yaitu ketika mata ini tiak bisa di picingkan, aku merasakan sakit
yang tidak tertahankan dan takut yang tidak bisa dilukiskan. Sakit itu terus
berlanjut sehingga aku tidak lagi menangis sebanyak itu pula aku melihat
kematian di hadapunku sampai engkau benar-benar keluar kedalm dunia.
Ketika aku melihat engkau benar-benar
keluar ke alam dunia, bercampur air mata kebahagian dengan air mata tangismu seketika
itu sirna semua keletihan dan kesedihanku bahkan kasihku bertambah seiring
dengan kuatnya sakitku. Aku peluk cium dirimu sebelum aku meneguk satu tetes
air
Wahai anakku telah berlalu tahun
demi tahun dari usiamu sedangkan aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu
dengan kedua tangan kasih sayangku, memberi saripati hidupku padamu, aku tidak tidur demi tidurmu dan aku berletih
demi kebahagiaanmu. Harapanku setiap harinya agar melihat senyumanmu.Yang aku
harapkan adalah permintaan dari mulut mungilmu agar aku berbuat sesutau
untukmu, itu kebahagiaanku dimasa-masa kecilmu.
Lalu berlalulah hari demi hari sedangkan
aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai dan dayang tidak pernah
berhenti dan pekerja yang tidak pernah mengenal lelah mendoakan selalu
kebaikan dan taufik untukmu. Semua hal
itu sangat aku perhatikan dari hari ke hari sampai engkau benar-benar menjadi
dewasa, telah tegak pula badanmu, telah nampak jiwa laki-lakimu pada tingkah
laku dan keseharianmu maka saat itu pula aku melihat kekiri dan kekanan agar
engkau mendapatkan pasangan hidup.
Datanglah hari perkawinanmu wahai
anakku maka itu artinya hampir dekat pula kepergianmu dari diriku. Tatkala itu
hatiku terasa teriris dan air mataku mengangis, bercampur kebahagiaan dengan
kesedihan. Bagaimana tidak, aku bahagia karna engaku telah mendapatkan pasangan
dan aku bersedih karna engkau pelipur hatiku sebentar lagi akan berpisah dari
diriku.
Waktupun berlalu seakan-akan
menyeretnya dengan berat namun sepertinya setelah perkawinan itu aku tidak lagi
mengenal dirimu dan waktu terasa berjalan dengan sangat lamban, perkawiann itu
menyebabkan engkau tidak lagi mengenal diriku, senyumanmu yang dulu tidak ada
lagi di hadapanku sebagaiman sirnanya matahari di tutupi oleh kegelapan malam,
suaramu telah tenggelam sebagimana tenggelamnya batu yang dijatuhkan kedalam
kolam yang dingin dan kelam.
Aku benar-benar tidak mengenalmu
karna engaku benar-benar telah melupakanku dan melupakan hakku, terasa lama
hari-hari yang kulalui hanya untuk ingin melihat rupamu, detik-detik kuhitung
hanya untuk mendengar suaramu akan tetapi penantian tetaplah penantian dan
sungguh penantian yang sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk
menanti kedatanganmu yang tidak pernah kunjung datang sampai-sampai setiap kali
berderit pintu maka aku menyangka bahwa engkau yang datang dan setiap kali berdering
telpon maka aku menyangka bahwa engkau yang menelponku dan setiap suara
kendaraan kendaraan yang lewat maka aku merasa bahwa engkaulah yang datang akan
tetapi semua itu tidak ada dan penantianku sia-sia, harapanku hancur, yang ada
hanya keputusasaan, yang tersisa adalah kesedihan dari semua keletihan selama
ini dan yang tinggal hanya menangisi diri dari nasib yang telah ditakdirkan
oleh Allah Ta’ala
Anakku, Ibu tidaklah meminta
banyak, aku tidaklah menagih hal yang bukan-bukan namun hanya satu yang ibu
pinta dan Ibu harapkan yakni sekiranya bias jadikanlah Ibumu sebagai sahabat sekalipun
ia adalah sahabat yang jauh dalam kehidupanmu dan jangan sekali kali kamu
jadikan ibumu sebagai musuh yang engkau
jauhi. Yang Ibu tagih kepadamu wahai anakku adalah jadikanlah rumah Ibumu ini
terminal sekalipun terminal yang jauh agar engkau dapat sekali-kali singgah
sekalipun hanya satu detik, janganlah engau jadikan rumah ibumu ini sebagi
tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi.
Anakku,telah bungkuk punggungku,
bergemetar tanganku, badanku telah pula dimakan oleh usia dan tubuhku telah
banyak di gerogoti oleh penyakit. Berdirinya Ibu seharusnya di papah, duduknya
ibu seharusnya di bopong akan tetapi walapun begitu rasa cintaku masih seperti
yang dulu, masih seperti lautan yang tidak pernah kering, masih seperti angin
tidak pernah berhenti berhembus.
Seandainya engkau dimiuliakan
satu hari saja oleh seseorang maka niscaya engkau membalasnya dengan kebaikan
akan tetapi Ibumu yang telah berbuat banyak kepadamu, yang telah berlarut dan
berletih-letih kepadamu. Mana balas budimu?. Wahai anakku , mana balasan
baikmu,?. Sampai begitu keraskah hatimu setelah berlalunya hari, setelah
berselangya waktu dan setelah engkau meninggalkan Ibumu di sudut rumah yang
mungil lagi kecil ini?.
Wahai anakku, setiap kali aku
mendengar bahwa engkau bahagia bersama hidupmu maka setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana aku tidak
bahagia karna engkau adalah gerakan kedua tanganku.
Kiranya dosa apakah yang telah
aku perbuat sehingga engkau menjadikan aku sebagai musuh bebuyutanmu yang tidak
pernah engkau sapa, tidak pernah engkau kunjungi dan tidak pernah engkau
hampiri. Apakah aku pernah salah satu hari dalam bergaul denganmu atau aku
pernah berbuat lalai dalam melayanimu. Tidak dapatkah engkau menjadikanku
menjadi pembantu yang hina dari sekian pembantu yang mereka semua telah engkau
berikan upah dan mereka semua engkau berikan perlindungan. Mana upahku wahai
anakku?. Mana ganjaranku?. Mana Jasaku?. Kenapa engkau tidak memberikan sedikit
perlindungan di bawah naungan kebesaranmu?. Kenapa engaku tidak anugrahkan
kasih sayang demi mengobati derita orang
tua yang lemah ini?.
Padahal Allah Ta’ala mencintai
orang yang dermawan “ Bukankah ganjaran
yang baik seharusnya di balas dengan ganjaran yang baik”. Yang Ibu finta di
hari-hari akhir Ibu ini adalah hanya ingin melihat wajahmu, aku tidak menginginkan
yang lainnya, aku tidak menginginkan hartamuyang banyak, tidak menginginkan
kebesaranmu yang luas, tidak menginginkan tahtamu yang tinggi.Yang Ibu inginkan
hnaya wajahmu di hadapanku.
Wahai anakku, hatiku serasa
teriris, air mataku mengalir sedangkan engkau masih sehat wal’afiat karna
orang-orang mengatakan bahwa engkau adalah orang supel dalam bergaul, engkau
adalah seorang dermawan dalam pemberian dan engkau adalah orang yang berbudi di
dalam masyarakat akan tetapi mana supelmu kepada Ibumu?, mana dermawanmu kepada
Ibumu? Dan mana budimu kepada Ibumu?.
Anakku, apakah hatimu tidak
tersentuh terhadap seorang wanita tua yang lemah yang telah binasa dimakan oleh
rindu yang berselimutkan selalu kesedihan dan berpakainkan selalu kedukaan.
Apakah engkau berbahagia saat engkau telah berhasil mengalirkan air matanya?.
Tersenyumkah engkau karna engkau telah berhasil membat sedih
hatinya?.Berbahgiakah engkau karna engkau telah berhasil memutus tali silaturrahmi
dengan Ibumu?.
Wahai Anakku,inilah pintu surga
maka titilah ia dan pergilah menuju ke depannya, lewatilah jalannya dengan
senyuman yang manis dan semoga aku
bersamamu di surge karna Rasullallah bersabda “Orang tua adalah pintu tengah di
surga, jika seandainya engkau menginginkan maka hilangkanlah pintu itu atau
jagalah ia.
Anakku, selama ini aku mengenalmu
sebagai laki-laki yang tamak dengan pahala dan selalu rakus dengan ganjaran
serta yang selalu mengharapkan ampunan dari Allah Ta’ala akan tetapi dan pasti
engkau telah melupakan sebuah hadist Rasullallah Shallallhu’alaihi wa sallam :
“ Sesungguhnya amalan yang paling utama di sisi Allah adalah sholat tepat waktu
kemudian berbakti kepada orang tua kemuadian berjihad di jalan Allah.
Anakku,aku adalah pahala itu, aku
adalah ganjaranmu, tanpa engkau harus memerdekakan budak, tanpa engkau harus
banyak-banyak berinfak dan tanpa engakau banyak-banyak berama, cukup engkau
bahagiakan aku.Akan tetapi yang Ibu takutkan Sabda Rasullallahu ‘alahi wasallam
:”Celakalah seorang anak yang mendapati orang tuanya lalu tidak memasukkan dia
ke dalam surganya karena orang tuanya”.
Anakku, Sungguh Ibu tidak akan
mengangkat keluahn ini ke langit, Ibu tidak akan adukan duka ini kepada Allah
karna Ibu yakin seandainya suara ini sampai ke langit dan jeritan ini
membumbung tinggi menembus awan maka yang akan binasa adalah engkau, maka yang
akan ditimpa kebinasaan dan kesengsaraan serta kebinasaan yang tidak ada
obatnya, yang tidak mungkin tersembuhkan oleh dokter dan tabib adalah dirimu.
Bagaimana pula aku mengangkatnya ke langit sementara engkau adalah jantung
hatiku, bagaiman pula aku akan adukan kepada Allah padahal engkau adalah
pelipur laraku.Bagaiman pula akan aku tangisi kepada Allah Ta’ala padahal
engkau adalah kebahagiaan hidupku .
Bangunlah Nak, Uban telah banyak
tumbuh di kepalamu.Akan datang suatu masa sehingga engaku akan merasakan tua
pula seperti aku dan balasan sebuah amal adalah seperti amal itupula atau
sebagaiman engkau berbuta maka seperti itupula engkau akan diperlakukan oleh
anak-anakmu nantinya.
Aku tidak ingin engkau menulis
surat dengan air matamu sebagimana aku telah menulis surat dengan air mataku
kepadamu.Anakku, bertakwalah kepada Allah tentang Ibumu, peganglah kakinya
sesungguhnya surge ada pada kakinya, basuhlah air matanya, balurlah
kesedihannya, kencangkan tulang bungkukunya, kokohkan badannya yang lapuk.
Anakku.setealh engkau membaca
surat ini maka terserah engkau apakah engaku tersadar dan akan kembalai kepada
Ibumu atau engaku menyobek surat ini akan tetapi barang siapa yang menanam maka
dia pula yang akan menuai. Wassalamu’alaikum Warah matullahi Wabarkatuh.
Dari Ibumu yang selalu
mencintaimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar