Sabtu, 11 Agustus 2012

Ku Titip Surat ini Untukmu

Anakku, surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara, saya coba menulis diatas keraguan dan rasa malu. Setelah berfikir panjang, saya coba goreskan pena berulang kali akan tetapi selalu terhalang oleh tangisan dan setiap kali ia meneteskan air mata maka setiap kali hatiku terluka
Anakku, setelah umur yang panjang ini saya lihat engkau telah menjadi laki-laki yang dewasa lagi cerdas dan bijak maka engkau pantas membaca tulisan Ibu ini walaupun nantinya engkau sobek tulisan Ibu ini sebagaimana engkau telah menyobek-nyobek hati Ibu.
Wahai anakku, 25 tahun telah berlalu, dan tahun itu adalah tahun-tahun  kebahagian dalam kehidupanku  ketika dokter datang memberitahukanku bahwa aku fositif hamil dan semua Ibu mengetahui arti kalimat tersebut maka bercampur gembira dengan haru sebagimana ia adalah awal perubahan fisik dan emosi.

Setelah kabar gembira tersebut maka aku membawamu selama sembilan bulan, tidur dalam kesulitan, berdiri dalam kesulitan, makan dalam kesulitan, bernapas dalam kesulitan akan tetapi itu semua tidak mengurangi kasih sayangku kepadamu bahkan kasih saying tersebut semakin tumbuh bersama dengan berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku dalam kondisi lemah diatas lemah akan tetapi aku gembira setiap aku merasakan gerakanmu dalam perutku, aku bahagia setiap kali menimbang tubuhku bertambah dengan bertambahnya berat badanku padahal mengandung itu sangat berat anakku.
Penderitaan yang berkepanjangan itu telah sampai ketika fajar malam itu yaitu ketika mata ini  tiak bisa di picingkan, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan takut yang tidak bisa dilukiskan. Sakit itu terus berlanjut sehingga aku tidak lagi menangis sebanyak itu pula aku melihat kematian di hadapunku sampai engkau benar-benar keluar kedalm dunia.
Ketika aku melihat engkau benar-benar keluar ke alam dunia, bercampur air mata kebahagian dengan air mata tangismu seketika itu sirna semua keletihan dan kesedihanku bahkan kasihku bertambah seiring dengan kuatnya sakitku. Aku peluk cium dirimu sebelum aku meneguk satu tetes air
Wahai anakku telah berlalu tahun demi tahun dari usiamu sedangkan aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku, memberi saripati hidupku padamu,  aku tidak tidur demi tidurmu dan aku berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku setiap harinya agar melihat senyumanmu.Yang aku harapkan adalah permintaan dari mulut mungilmu agar aku berbuat sesutau untukmu, itu kebahagiaanku dimasa-masa kecilmu.
Lalu berlalulah hari demi hari sedangkan aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai dan dayang tidak pernah berhenti dan pekerja yang tidak pernah mengenal lelah mendoakan selalu kebaikan  dan taufik untukmu. Semua hal itu sangat aku perhatikan dari hari ke hari sampai engkau benar-benar menjadi dewasa, telah tegak pula badanmu, telah nampak jiwa laki-lakimu pada tingkah laku dan keseharianmu maka saat itu pula aku melihat kekiri dan kekanan agar engkau mendapatkan pasangan hidup.
Datanglah hari perkawinanmu wahai anakku maka itu artinya hampir dekat pula kepergianmu dari diriku. Tatkala itu hatiku terasa teriris dan air mataku mengangis, bercampur kebahagiaan dengan kesedihan. Bagaimana tidak, aku bahagia karna engaku telah mendapatkan pasangan dan aku bersedih karna engkau pelipur hatiku sebentar lagi akan berpisah dari diriku.
Waktupun berlalu seakan-akan menyeretnya dengan berat namun sepertinya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu dan waktu terasa berjalan dengan sangat lamban, perkawiann itu menyebabkan engkau tidak lagi mengenal diriku, senyumanmu yang dulu tidak ada lagi di hadapanku sebagaiman sirnanya matahari di tutupi oleh kegelapan malam, suaramu telah tenggelam sebagimana tenggelamnya batu yang dijatuhkan kedalam kolam yang dingin dan kelam.
Aku benar-benar tidak mengenalmu karna engaku benar-benar telah melupakanku dan melupakan hakku, terasa lama hari-hari yang kulalui hanya untuk ingin melihat rupamu, detik-detik kuhitung hanya untuk mendengar suaramu akan tetapi penantian tetaplah penantian dan sungguh penantian yang sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu yang tidak pernah kunjung datang sampai-sampai setiap kali berderit pintu maka aku menyangka bahwa engkau yang datang dan setiap kali berdering telpon maka aku menyangka bahwa engkau yang menelponku dan setiap suara kendaraan kendaraan yang lewat maka aku merasa bahwa engkaulah yang datang akan tetapi semua itu tidak ada dan penantianku sia-sia, harapanku hancur, yang ada hanya keputusasaan, yang tersisa adalah kesedihan dari semua keletihan selama ini dan yang tinggal hanya menangisi diri dari nasib yang telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala
Anakku, Ibu tidaklah meminta banyak, aku tidaklah menagih hal yang bukan-bukan namun hanya satu yang ibu pinta dan Ibu harapkan yakni sekiranya bias jadikanlah Ibumu sebagai sahabat sekalipun ia adalah sahabat yang jauh dalam kehidupanmu dan jangan sekali kali kamu jadikan ibumu sebagai musuh  yang engkau jauhi. Yang Ibu tagih kepadamu wahai anakku adalah jadikanlah rumah Ibumu ini terminal sekalipun terminal yang jauh agar engkau dapat sekali-kali singgah sekalipun hanya satu detik, janganlah engau jadikan rumah ibumu ini sebagi tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi.
Anakku,telah bungkuk punggungku, bergemetar tanganku, badanku telah pula dimakan oleh usia dan tubuhku telah banyak di gerogoti oleh penyakit. Berdirinya Ibu seharusnya di papah, duduknya ibu seharusnya di bopong akan tetapi walapun begitu rasa cintaku masih seperti yang dulu, masih seperti lautan yang tidak pernah kering, masih seperti angin tidak pernah berhenti berhembus.
Seandainya engkau dimiuliakan satu hari saja oleh seseorang maka niscaya engkau membalasnya dengan kebaikan akan tetapi Ibumu yang telah berbuat banyak kepadamu, yang telah berlarut dan berletih-letih kepadamu. Mana balas budimu?. Wahai anakku , mana balasan baikmu,?. Sampai begitu keraskah hatimu setelah berlalunya hari, setelah berselangya waktu dan setelah engkau meninggalkan Ibumu di sudut rumah yang mungil lagi kecil ini?.
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia bersama hidupmu maka setiap itu pula  bertambah kebahagiaanku. Bagaimana aku tidak bahagia karna engkau adalah gerakan kedua tanganku.
Kiranya dosa apakah yang telah aku perbuat sehingga engkau menjadikan aku sebagai musuh bebuyutanmu yang tidak pernah engkau sapa, tidak pernah engkau kunjungi dan tidak pernah engkau hampiri. Apakah aku pernah salah satu hari dalam bergaul denganmu atau aku pernah berbuat lalai dalam melayanimu. Tidak dapatkah engkau menjadikanku menjadi pembantu yang hina dari sekian pembantu yang mereka semua telah engkau berikan upah dan mereka semua engkau berikan perlindungan. Mana upahku wahai anakku?. Mana ganjaranku?. Mana Jasaku?. Kenapa engkau tidak memberikan sedikit perlindungan di bawah naungan kebesaranmu?. Kenapa engaku tidak anugrahkan kasih sayang demi mengobati  derita orang tua yang lemah ini?.
Padahal Allah Ta’ala mencintai orang yang dermawan  “ Bukankah ganjaran yang baik seharusnya di balas dengan ganjaran yang baik”. Yang Ibu finta di hari-hari akhir Ibu ini adalah hanya  ingin melihat wajahmu, aku tidak menginginkan yang lainnya, aku tidak menginginkan hartamuyang banyak, tidak menginginkan kebesaranmu yang luas, tidak menginginkan tahtamu yang tinggi.Yang Ibu inginkan hnaya wajahmu di hadapanku.
Wahai anakku, hatiku serasa teriris, air mataku mengalir sedangkan engkau masih sehat wal’afiat karna orang-orang mengatakan bahwa engkau adalah orang supel dalam bergaul, engkau adalah seorang dermawan dalam pemberian dan engkau adalah orang yang berbudi di dalam masyarakat akan tetapi mana supelmu kepada Ibumu?, mana dermawanmu kepada Ibumu? Dan mana budimu kepada Ibumu?.
Anakku, apakah hatimu tidak tersentuh terhadap seorang wanita tua yang lemah yang telah binasa dimakan oleh rindu yang berselimutkan selalu kesedihan dan berpakainkan selalu kedukaan. Apakah engkau berbahagia saat engkau telah berhasil mengalirkan air matanya?. Tersenyumkah engkau karna engkau telah berhasil membat sedih hatinya?.Berbahgiakah engkau karna engkau telah berhasil memutus tali silaturrahmi dengan Ibumu?.
Wahai Anakku,inilah pintu surga maka titilah ia dan pergilah menuju ke depannya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis dan semoga  aku bersamamu di surge karna Rasullallah bersabda “Orang tua adalah pintu tengah di surga, jika seandainya engkau menginginkan maka hilangkanlah pintu itu atau jagalah ia.
Anakku, selama ini aku mengenalmu sebagai laki-laki yang tamak dengan pahala dan selalu rakus dengan ganjaran serta yang selalu mengharapkan ampunan dari Allah Ta’ala akan tetapi dan pasti engkau telah melupakan sebuah hadist Rasullallah Shallallhu’alaihi wa sallam : “ Sesungguhnya amalan yang paling utama di sisi Allah adalah sholat tepat waktu kemudian berbakti kepada orang tua kemuadian berjihad di jalan Allah.
Anakku,aku adalah pahala itu, aku adalah ganjaranmu, tanpa engkau harus memerdekakan budak, tanpa engkau harus banyak-banyak berinfak dan tanpa engakau banyak-banyak berama, cukup engkau bahagiakan aku.Akan tetapi yang Ibu takutkan Sabda Rasullallahu ‘alahi wasallam :”Celakalah seorang anak yang mendapati orang tuanya lalu tidak memasukkan dia ke dalam surganya karena orang tuanya”.
Anakku, Sungguh Ibu tidak akan mengangkat keluahn ini ke langit, Ibu tidak akan adukan duka ini kepada Allah karna Ibu yakin seandainya suara ini sampai ke langit dan jeritan ini membumbung tinggi menembus awan maka yang akan binasa adalah engkau, maka yang akan ditimpa kebinasaan dan kesengsaraan serta kebinasaan yang tidak ada obatnya, yang tidak mungkin tersembuhkan oleh dokter dan tabib adalah dirimu. Bagaimana pula aku mengangkatnya ke langit sementara engkau adalah jantung hatiku, bagaiman pula aku akan adukan kepada Allah padahal engkau adalah pelipur laraku.Bagaiman pula akan aku tangisi kepada Allah Ta’ala padahal engkau adalah kebahagiaan hidupku .
Bangunlah Nak, Uban telah banyak tumbuh di kepalamu.Akan datang suatu masa sehingga engaku akan merasakan tua pula seperti aku dan balasan sebuah amal adalah seperti amal itupula atau sebagaiman engkau berbuta maka seperti itupula engkau akan diperlakukan oleh anak-anakmu nantinya.
Aku tidak ingin engkau menulis surat dengan air matamu sebagimana aku telah menulis surat dengan air mataku kepadamu.Anakku, bertakwalah kepada Allah tentang Ibumu, peganglah kakinya sesungguhnya surge ada pada kakinya, basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang bungkukunya, kokohkan badannya yang lapuk.
Anakku.setealh engkau membaca surat ini maka terserah engkau apakah engaku tersadar dan akan kembalai kepada Ibumu atau engaku menyobek surat ini akan tetapi barang siapa yang menanam maka dia pula yang akan menuai. Wassalamu’alaikum Warah matullahi Wabarkatuh.
Dari Ibumu yang selalu mencintaimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar